Bangku Kuliah dan Dunia Kerja

Musim penerimaan mahasiswa baru (maba) telah tiba. Hampir semua perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba menggaet calon maba. Sebagaimana tahun sebelumnya, jurusan ’’favorit’’ seperti kedokteran, keguruan, ekonomi, hukum, dan teknik kebanjiran pendaftar. Sebaliknya, jurusan ilmu sosial dan pertanian sepi peminat.
TINGGINYA animo masyarakat pada jurusan favorit dan ’’siap kerja’’ itu bukan tanpa sebab. Para prang tua tentu tidak ingin anaknya hanya menganggur, selepas lulus kuliah, karena ijazahnya ’’tidak laku’’ untuk mencari kerja.

Mereka menggunakan cara apapun agar anaknya bisa masuk jurusan favorit. Mulai dari menyewa joki saat ujian penerimaan, minta bantuan ’’orang dalam’’ dengan membayar puluhan bahkan ratusan juta, sampai ikut program swadaya atau nonreguler. Pendek kata, orang tua rela mengeluarkan modal yang tak sedikit agar anaknya bisa kuliah, khususnya pada jurusan-jurusan favorit.

Pertanyaannya, apakah dengan masuk jurusan favorit, mereka nantinya bisa langsung bekerja? Langkah apa yang mesti dilakukan para mahasiswa agar bisa sukses setelah lulus kuliah?
Sebenarnya kuliah, termasuk di jurusan favorit, belum tentu menjamin masa depan yang cerah, khususnya dikaitkan dengan orientasi kerja. Pasalnya, setiap tahun terjadi ketimpangan antara jenis keahlian yang ditawarkan perguruan tinggi dan minimnya kesempatan kerja yang ada.

Penyebab mismatch itu bisa bervariasi, dan tergantung dari sudut pandang mana. Jika dilihat dari aspek kurikulum, misalnya, ketimpangan terjadi karena kurikulum yang diterapkan PT sudah ketinggalan zaman, atau tak adaptif dengan dunia kerja.

Ketika dunia kerja meniscayakan tenaga kerja terampil dan berdedikasi tinggi, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia hanya mampu membentuk mahasiswa yang terampil dalam aspek pengetahuan (kognitif) saja.

Akibat kurikulum yang tak adaptif, angka pengangguran dari kalangan sarjana terus meningkat. Berdasarkan data BPS (2007), jumlah sarjana menganggur pada tahun 2004 tercatat 348.000 orang, kemudian naik menjadi 385.418 orang (2005), 673.628 orang (2006), dan 740.206 orang (2007).

Fenomena ini tentu harus disikapi secara jeli dan kreatif, entah dari calon mahasiswa, orang tua, pengelola PT, maupun pemerintah sebagai stakeholder pendidikan bangsa. Yang terpenting, ada beberapa upaya yang mesti mereka lakukan.

Membuka Diri
Pertama, sejak awal mahasiswa harus menyadari bahwa kuliah bukan segalanya. Artinya, mereka harus mau membuka diri, cerdas menyiasati peluang, kreatif mencari kiat, trik, atau ilmu-ilmu praktis yang berguna untuk kehidupan kelak.

Benar bahwa kuliah tidak boleh ditinggalkan. Tetapi tidak ada salahnya jika sekali waktu mahasiswa juga mengikuti berbagai training sumber daya manusia, peningkatan kemampuan finansial, dan kewirausahaan.

Pentingnya mengikuti pelatihan, di samping kuliah, karena fakta di lapangan menunjukkan lulusan PT tidak seluruhnya siap kerja. Hasil studi Blau dan Duncan (1967) di AS, Mark Blaug (1974) di Inggris, dan Cummings (1980) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang tak jauh berbeda antara negara maju dan negara berkembang.

Artinya, pendidikan formal hanya memberi kontribusi lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan, daripada faktor-faktor lain di luar sekolah seperti pelatihan dan pengalaman. Banyak kasus bahwa dunia industri harus melatih mereka terlebih dulu dalam waktu yang relatif lama.

Ketika masih duduk di bangku kuliah, tidak ada salahnya membekali diri dengan berbagai keterampilan. Misal, keterampilan bahasa asing, komputer, finansial, keahlian berkomunikasi, jaringan kerja (networks), dan sebagainya.

Bagi yang mempunyai keterampilan menulis, tidak ada salahnya jika skill itu digunakan untuk menambah penghasilan, sembari menerapkan teori-teori yang didapat dari bangku kuliah.
Singkatnya, semasa kuliah, mahasiswa harus prihatin, kritis, kreatif, dan tidak hanya menjadi ’’anak mama’’, yang rutinitasnya hanya hura-hura dengan uang kiriman, atau asal datang, duduk dan dengar (D3) ketika dosen memberi kuliah.

Ketika menjadi sarjana, mereka harus memanfaatkan ilmu dan kreativitas yang dimiliki, untuk menciptakan lapangan kerja. Langkah kreatif dan mandiri itu akan meningkatkan kredibilitas seorang sarjana, daripada mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan.

Jiwa Kewirausahaan
Kedua, dengan memasukkan anak ke perguruan tinggi, bukan berarti orang tua lepas tugas. Sebaliknya, mereka justru harus membekali putra-putrinya dengan semangat dan jiwa kewirausahaan. Pasalnya, semangat dan jiwa itu merupakan modal utama yang akan memberi kontribusi besar bagi kesuksesan hidup anaknya, kelak.

Misalnya di masa liburan, orang tua harus mengarahkan anaknya untuk magang kerja di sektor kerajinan atau industri rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.

Kegiatan magang dimaksudkan agar mahasiswa tidak terputus dari kenyataan kehidupan, terutama dari dunia kerja. Ilmu yang dipelajari di bangku kuliah pun tidak kehilangan referensi dari kehidupan nyata.

Ketiga, para pengelola perguruan tinggi —didukung pemerintah— harus menjalin kerja sama dengan dunia industri/dunia kerja. Dalam kerja sama yang saling menguntungkan, perguruan tinggi bisa membuat kurikulum dan model pembelajaran yang lebih adaptif dengan kebutuhan dunia kerja. Lebih dari itu, mahasiswa bisa diikutkan bekerja atau magang di perusahaan mitra.

Mengenyam pendidikan di bangku kuliah saat ini memang tidak mudah. Tetapi jauh lebih susah memilih PT yang tepat. Maka, orang tua dan calon mahasiswa harus jeli memilih perguruan tinggi, jangan asal masuk saja. Sebelum mendaftar, mereka harus mencermati kualitas PT, akriditasi jurusan, dan peluang kerja dari jurusan itu.

Kejelian ini diperlukan agar ketika lulus nanti, orang tua dan mahasisawa tidak kecewa atau menyesal. Semoga ! (Agus Wibowo, penulis buku ’’Malpraktik Pendidikan’’ (2008), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta-32)